18.12.18


Aku hanya harus diam dan mulai memperhatikan langkah kaki yang berpijak tanpa henti, mendarat bergantian di antara air yang mengalir dari awan menuju selokan—pelan-pelan. Pandangan seketika kosong oblong—tidak, sebenar-benarnya aku tidak melihat, aku hanya pura-pura melihat.

Aku ada di belakangnya, tepat di belakangnya. Dia berjalan sembari aku termenung mengikuti. Kakinya dibalut sepasang sepatu kets yang basah dan lusuh. Tubuhnya yang kurus tak bisa menolongku menghindari guyuran hujan—sementara aku sangat kedinginan.

Aku hanya harus diam dan mulai memperhatikan derai-derai air hujan yang tiada hentinya menghempaskan diri ke bawah, membasahi tanah—tanpa lelah. Kali ini pandanganku kosong kembali, aku hanya bisa melihat sepasang kakiku yang menerobos air di sana-sini—menggigil tanpa alas kaki.

Aku menunduk sambil berjalan, pun dengan sangat pelan. Aku mengangkat pandangan, tertuju padanya sejenak, lalu kembali. Aku melihat lengannya yang dililit gelang-gelang, rambut panjangnya yang ikal dan basah, tubuhnya yang tinggi, dan celana panjang yang hampir menyentuh tanah.

Cukup lelah aku mengikuti arah langkah. Berabad-abad telah kami tembus guyuran hujan. Kami hanya saling terdiam, memendam, lalu terpejam. Pernah sekelebat aku menggapai matanya yang tajam tenggelam memandang hutan. Sesekali ia melirik semut-semut yang berkeliaran. Dapat aku tangkap gingsul yang tersembunyi di balik kumis tipis dan senyumnya yang cukup manis.

Aku hanya harus diam dan mulai memperhatikan jaket denim belel yang tersanding di bahu kanan, dibalut kaos hitam oblong lengkap dengan jam tangan hitam di lengan—pun di lengan sebelah kanan.

Ingin aku gapai suaranya, namun aku diam. Ingin aku gapai matanya, namun aku terpejam. Ingin aku gapai hatinya, namun aku memendam. Aku kaku bukan kepalang, aku menjadi boneka tak berdaya. Aku seperti makanan yang kadaluarsa, tercampakkan sebelum terbuang.

Ia terus melangkah. Sial!. Aku juga.

Aku terhenti sejenak membereskan air mata yang tertutupi air hujan. Rambutku yang terurai menghalangi wajahku yang merah merekah karena tangisan. Aku menunduk. Sontak lalu ada sebelah tangan menggapai wajahku perlahan, kuangkat pandangan. Kudapati ia berdiri di hadapan. Airmukanya lelah dan payah—ia tersenyum.

"Sabar yaa" –katanya.

Terlampau dalam aku lelah hati, sampai-sampai aku lupa diri. Aku hanya berputar soal masalahku sendiri. Aku hanya harus diam dan mulai memperhatikan pendaki yang terpajang di hadapanku ini.

Maka telah aku gapai suaranya. Matanya. bahkan hatinya. Pada saat sebelum keningku tersentuh bibirnya. Pada saat sebelum kepalaku terengkuh nyaman di dadanya.

Airmataku hadir di ujung mata. Aku terisak menahan tawa. Lalu aku tatap matanya. Lalu aku kembali direngkuhnya. Lalu aku diam. Dengan nyaman. Aku hanya diam. Aku terlalu bahagia untuk berbicara.

Komentar

Postingan Populer