Sama ku dia
Dia bersandar di bahu kegelapan malam, meneguk hangatnya kopi yang sengaja disuguhkan, tercekam sendiri dengan mulut yang terbungkam. Hatinya yang menghitam selalu menderu penuh geram, sesekali dia menggertakkan geraham, di matanya terpancar cahaya yang sedikit terancam.
Diam-diam aku mendekatimu, dengan membawa segelas kopi yang aku ramu. Duduk aku disampingmu, berkata-kata dari bibirku yang bergincu. Bersuara aku, lalu aku, dan kamu, tanpa kucing itu, kita lalu, ahh kamu.
Tapi dia, sendiri saja, tak menghiraukan kita. Kopipun dihabisinya, menulis sajak sepertinya, pena dan secarik kertas di depannya, menggeleng-geleng kepalanya sambil menatap kucing di sebelah kita.
Dia tampan, tapi bukan sangat tampan, hanya tampan saja, sebab rambutnya acak-acakan, tapi itu suatu kebanggaan, daripada tidak begitu tampan! Dia juga aneh, yang ini sangat aneh, bukan aneh saja, bukan juga tidak begitu aneh, tetapi memang begitu aneh.
Dia tercengang, dia menggeram, dia tercekam, dia menggumam. Tidak tertawa, tidak bercanda, tidak menyapa, tidak berbunga. Tapi juga tidak menangis, tidak marah, tidak gemetar, tidak teriak. Dia hanya diam, memang diam, dan benar-benar diam.
Jadi, sama ku dia.
Komentar
Posting Komentar