Menjelang tahun keempat

Pagi hari, kau berjalan di depanku, dengan gitar di pangkuanmu dan sedikit lantunan syair lagu yang romantis. Jaket hitam dengan sobekan di seragam selalu kau kenakan, dan tak bisa ku lupakan. Rambut yang manis dilihat, serta senyum yang menyejukkan mata, tak kusangka akan abadi dalam kepala.

Hari itu sederhana sekali, pertama kali aku memasuki gerbang itu, tak pernah sedikitpun terbayang akan menemukan sosok sepertimu, dengan santainya kau lewat di depanku, seketika mataku tak bosan memandangimu, mereka mentertawaiku, dengan keras, tapi entahlah, aku tak mengenal mereka, mungkin hanya prasangka.

Tanpa sadar ku korbankan secuil harga diri, membuntut di belakangmu seorang diri, kemanapun kau pergi, ku ikuti. Aku melihatmu menuju kantin, lalu makan sepotong gorengan, bercanda bersama teman-teman sambil gitaran, aku selalu suka ketika kau tertawa sebab gigimu menjadi satu-satunya alasan, mengesankan.

Suara, petikan gitar, gambar, serta topeng-topeng itu, aku selalu suka, sayang saja aku tidak bisa menyisakan hal-hal manis denganmu, ini kesalahanku, aku terlalu malu, hingga saat ini ketika kita berpisah sejak satu tahun lalu, yang tersisa hanya penyesalan, aku tidak pernah berusaha mendekatimu, ternyata aku benar-benar rindu.

Banyak orang yang sering mampir hanya sekedar memberi senyuman di bibir, membuatku bahagia seketika, memberi harapan-harapan di masa depan, tapi aku mengaku berdosa, sebab hanya agar aku mendapatkan pelampiasan atas kerinduan yang sangat dalam.

Saat ini, aku ulangi perkataan yang pernah aku ucapkan, tapi bukan padamu. "Aku suka kamu", mungkin juga kau pernah tahu, hanya saja hari ini sama, tak kan kuucapkan padamu. Aku tidak mungkin berani mengatakan hal-hal semacam itu padamu, sebab aku tahu, menunggu adalah keputusan paling bijak untuk mendapatkanmu.

Komentar

Postingan Populer