Gelora halimun dewi malam

"Tik tok tik tok!!" 

Jam dinding bertiktok, memberi petunjuk bahwa saat inilah pukul 21:05. Ya Tuhan, aku sangat lelah setelah berhasil mendapatkan seekor biawak jelek dan dua ekor ular cantik dari ladang kangkung sore tadi, rasanya lelahku bertambah saja, terlebih lagi ketika ibuku mewanti-wanti sedari tadi untuk aku menggosok gigi sebelum tidur dan menyambut pagi esok hari, malas rasanya, apa boleh buat, jika tidak dilaksanakan, aku bener-benar tidak akan diperbolehkan naik ranjang, aku cukup berpengalaman, percayalah!

Napas yang keluar dari mulutku sudah wangi, tandanya aku siap berbaring dan menggeluti bantal guling sampai pagi, membunuh lampu untuk sementara dan ahh selimut, aku menyayangimu. Nyaman dan  kurasa adalah waktu yang tepat untuk memikirkan ular dan biawak yang baru saja menjamah rumahku yang beralaskan keramik dingin ini, mungkin mereka mulai gelisah karena terpisah dengan keluarga mereka, tapi ya sudahah, toh seringkali aku menangkap reptil seperti bereka barangkali beberapa ekor tiap bulan, dan tidak ada dampak buruk bagiku selain menyayangkan kematian ereka-mereka itu di dalam kandang karena aku lupa memberinya makan. Tapi benar saja, tidak pernah aku mengalami perkelahian sehebat tadi sore pikirku, bayangkan saja seorang anak perempuan kelas empat SD berkelahi dengan biawak berukuran lebih satu meter, serta dua ular kembar menurutku yang panjangnya hampir satu setengah meter, mereka samasekali sangat susah dijinakkan, dan entah kemanalah teman-temanku yang banyak itu, sampai-sampai aku harus menangkap tiga reptil itu sendirian.

Dan selimutku semakin menghangatkan saja, betapa tidak nikmatnya malamku kali ini, sudah mendapatkan ular, dan ular itu lagi yang ada dalam pikiranku, sebelum tiba-tiba dia menghampiriku dengan berjalan perlahan, siapalah yang tidak kaget ketika siap merangkai mimpi, bahkan mungkin mataku sudah terpejam dan lalu hadir seekor ular di depan mata, berteriakpun aku tak bisa, lantas terjatuh aku dari atas ranjang, menambah remuknya tulang-tulangku, lantas kutinggal dia dan lari sempoyongan tergesa dengan napas yang tak teratur samasekali menuju kamar ibu, sangat sulit dipercaya, kemanalah semua penghuni gubuk ini pikirku, ular itu mengikuti langkahku dan menambah kejengkelanku, sudah siap aku mencekik kepalanya lantas ular itu membuatku terbelalak heran, dia..

"Ada yang ingin aku beritahu padamu, Shinta!"

Lantas kulempar dia ke lantai tanpa sedikitpun rasa kasihan, apa-apaan ini? Sekalipun dia bisa berbicara, apa iya dia juga tahu namaku, tidak, tidak mungkin! Harus apalah aku sekarang ini? Menangispun tak bisa, belum lagi kulihat kandang reptil telah kosong, kosong semua makhluk kecuali aku dan ular jadi-jadian ini. Ular ini terus mengikutiku, tak pernahlah sebelumnya aku merasakan kesal dan takut separah ini, kemudian aku tidak lagi ingat apa-apa.

"Bangunlah Shinta! Kau harus bangun, tidak baik berlama-lama memejamkan mata seperti itu.."

Syukurlah hanya mimpi, kubuka perlahan kedua mata dan membenarkan penglihatan serta meyakinkan pandangan, Ya Lord! ular itupun masihlah ada di depanku, benar-benar habislah tenaga manusia ini, bagaimana jika aku mati dimakan olehnya? Atau jangan-jangan semua keluargaku telah dimakan olehnya, habislah aku kalau begini caranya! Tak bisa lagi aku bertingkah apa-apa selain mulai mendengar ocehan monster ini..

"Shinta, mari ikut aku, kalau tidak, kehidupanmu akan hancur!"

Seperti orang bisu aku memperhatikan monster ini tanpa berbicara sedikitpun, hanya saja air mataku mengalir tanpa tercipta rintihan rintihan di mulut mungilku, dengan panjang lebar dia menceritakan segalanya, seperti terhipnotis saja aku tanpa pikir panjang langsung mengikuti dibelakangnya keluar dari rumah, sepanjang perjalanan hanya saja dia yang aku lihat, rasanya dingin dan sunyi, atau tidak begitu sunyi setelah terdengar suara jangkrik dan katak bersaut-sautan seperti bersenandung ditengah tetitik gemintang dan bulan yang cukup gendut. beberapa saat setelahnya, ular itu berhenti dan aku mulai memberanikan diri memperhatikan pemandangan sekitar, tidak salah lagi, aku dibawanya ke tempat dimana aku menangkapnya petang tadi, matilah sungguh aku disini tercabik-cabik oleh kumpulan monster pikirku, terguncang dan tak terkontrol keadaanku, gemetar menggigil tubuhku tapi perasaanku panas, keringatku bercucuran, airmata menyebalkan ini ters saja membasahi hampir seluruh bagian wajahku, perasaan macam apa ini!

Begitu asyiknya aku dengan suasana ketakutan yang begitu mencekam, sampailah lupa aku bahwa tempat ini, ya, tempat dimana aku menangkap monster itu, tak pernah terbayangkan begitu samasekali berbeda ketika petang, ladang ini sungguh indah ketika malam, kunang-kunang dan pohon itu, pohon apa itu? Aneh dan cantik, daunnya bercahaya, buahnya merah muda, lalu bunga dari kangkung-kangkung itu memancarkan cahaya mengkilap dan aroma wangi yang khas, aku seperti berada di lautan cahaya ilahi yang seketika melayangkan pikiranku kembali. Dan ular itu, lagi-lagi dia berjalan dan tanpa perintah, aku mengikutinya lagi, dia membawaku ke salah satu sudut ladang, yang kupikir tidak ada sesuatu yang aneh disana, benar saja, selalulah terkaanku salah total, masuklah dia menembus rerimbun rumput itu, dengan ragu aku mengikutinya, pasrahku hampir mencapai level sempurna, di sisi lain monster selalu menyebut keluarga, di sisi lainnya lagi aku harus benar-benar pasrah, kalau-kalau nyawaku jadi taruhannya. Bukanlah tidak mungkin seekor ular berbicara memangsa manusia, mungkin saja dia adalah ular jelmaan, atau monster sungguhan, bisa saja. Tapi lihat apa yang ular ini tunjukkan padaku, rerimbun rumput itu ternyata menembus sebuah lorong gua yang dipenuhi cahaya kunang-kunang di dinding, begitu indahnya, dan tanpa aku sadari, lorong itu menembus sebuah ruangan, anggaplah sebuah ruang bawah tanah, mewah dan ramai sekali, banyak suara desis seperti ular, semakin lama semakin keras saja desisan itu seperti menghampiriku yang sedang berdiri di pintu masuk sambil memandang apa-apa yang gemerlapan seperti emas, tiba-tiba..

"Shinta, kami disini nak, kau melihat kami? Shinta! Shinta! Kak Shinta! Shinta!"

Terguncang badanku, keadaan yang mulai tenang, kembali membuatku hilang arah, bagaimana tidak ketika? Ibu, Ayah, dan Adikku dikurung selayaknya aku mengurung ular dan biawak itu, mereka menangis dan aku tidak bisa berbuat apa-apa ketika aku melihat dari salah satu sudut ruangan, seekor ular amatlah besar dengan berlian merah di kepalanya, dia berjalan dalam posisi berdiri setengah badan, warnanya hijau batik diseta-sela kecoklatan yang memancarkan cahaya merah muda dari balik sisiknya yang sebesar piring beling. sementara aku terjatuh lantas duduk memandangi ular besar itu, tanpa sadar aku telah kehilangan jejak ular yang mengantarkanku ke tempat ini, mungkinkah dia lari bersama biawak dan ular kembarannya? Entahlah. Sampai detik inipun napasku yang terengah-engah hampir tak bisa mencium aroma wangi ruangan yang mungkin sangat menenangkan itu, mataku enggan terbuka setelah ular bertaring emas itu berbicara dengan susahnya karena taring raksasa di dalam mulutnya, sementara aku mendengarkan dengan hati dan pikiran yang kosong, hanya saja..

"Manusia pemberani! Hanya saja tidak memiliki hati! Akan kau bunuh juga anak-anakku? Gadis cantik sepertimu sungguh sulit dipercaya dan bahkan hampir tak pantas beridentitas pembunuh, semuda ini? Apa kau tak pernah berpikir bagaimana perasaanku ketika mendapati anak dan temannya terkurung di tempat asing? Ya, lebih tepatnya bagaimana perasaanmu ketika melihat mereka terkurung disini, tidak berdaya? Kalaulah aku mau, aku makan mereka sedari tadi, tapi anakku itu, hingga sampailah kau disini, kau dengar? Heh, bangun! Bagun kau! Bangun!"

"Bangun!, Shinta bangun! Kak, bangun kak! Kakak!"

Matanya yang besar berada tepat sejajar dengan mataku, aku terbelalak seketika dan berteriak sekencang-kencangnya, sampailah saat ini gemetarku masih tak enggan mengganggu ketenanganku, cahaya termbus dari balik jendela menusuk-nusuk jantungku yang berguncang keras, keringat pun membasahi hampir sekujur tubuh, sampai aku benar-benar sadar bahwa ular itu, dan biawak itu, semuanya itu, hanya mimpi. Tanpa pikir panjang aku lari kembali ke ladang serta membawa ular dan biawak itu, lantas kulepas dengan tangisan yang begitu lepasnya pula, tidak! tidak ada yang tahu tentang segala-gala mimpiku sebelum aku menceritakannya pada kalian, pening-pening itu menghiasi kepala setelah kepulanganku dari ladang.

Delapan tahun yang lalu, aku masih ingat betapa lucunya adikku kala itu, tidak seperti sekarang yang hobinya selalu memancing kalajengking dibawah-bawah pepohonan bambu gersang, dia terus saja menangkap binatang meski beberapakali diingatkan, tidaklah sama halnya denganku, dia hanya menangkap beberapa hari dan kemudian dilepasnya kembali pulang, namun terlepas dari kesalahannya yang besar atau kecil, kebiasaan seperti itu harus dihilangkan. Sampai saat ini pun ketika aku menikmati proses terbenamnya matahari di teras sembari menulis catatan ini, masihlah saja aku berharap agar dia mendapatkan mimpi sepertiku, setidaknya agar mengikis sedikitnya yang menurutku adalah sebuah ketidakadilan. Lalu bukankah juga untung bagiku ketika dia mulai sadar kalau-kalau gelora halimun dewi dirasa lebih menggoda daripada menangkap binatang keturunan bangsawan dikala petang menjelang malam?

Tabik!

Komentar

Postingan Populer