Ini diksi tahunan, tertahan sebab tidak memungkinkan
Selamat malam pujaan, aku sedang menyusun agenda pertemuan,
pembalut luka kerinduan, di persimpangan jalan, tempat para bedebah
berkomplotan, di pinggir aspalan, disana, berdua berlesehan. Sekarang hanya
masalah waktu, bagaimana opsimu? Kapanpun yang kau mau, aku siap menunggu, atau
kau mau aku menjemputmu? Carilah waktu luangmu, lalu bilang padaku, agar hasrat
ini lantas berpadu.
Terakhir
kali kita bersua, kita dapati dia yang sedang sengsara rupanya, sebab air mata
membasahi sekujur pipinya, entah mengapa, kita sama-sama tak tau sebabnya
karena itu pertama kali berjumpa. Ditemani tajamnya kemuning senja, sorotan
cahaya memperjelas pandangan kita, terlihat rambutnya sama sekali tidak tertata
namun bajunya masih rapi dengan kemeja dimasukkan dalam celana bersama tas
kecil berwarna donker di punggungnya. Lantas kau dan aku hanya bertatap muka,
mengumpulkan segala angan untuk kemudian disatukan agar bisa mereka-reka,
mengapa gadis berambut hitam itu duduk sendirian dipinggir taman kota? Ada apa?
Saat itu
sayang sekali kalau tidak di abadikan, bukan begitu, sayang?
Sebab
kita bukan Tuhan, lantas kita menghampirinya dengan usaha memberi ketenangan,
langkahmu sangat pelan bak lelaki hidung belang yang akan meniduri seorang
perempuan, langkahkupun sama, hanya saja aku di belakangmu, dan tangan kita
saling menggenggam. Belum sampai kita di depannya, kepalanya sudah mulai
menoleh ke arah kita, tak lama setelah itu dia mulai buka bicara.
*
Ini aku,
Naina. Dua orang itu tiba-tiba menghampiriku dengan pandangan yang tajam, yaa,
seorang pria bersama wanita di belakangnya. Mereka nampak penasaran dengan apa
yang aku lakukan di pinggir taman, lalu mereka membawaku lebih
dalam di sebuah taman yang begitu tenang nan menyejukkan. Ternyata mereka
lembut dan menghangatkan, mereka berhasil membuatku tersenyum di tengah-tengah
gundahku saat ini. Sebab mereka pasangan sempurna sejauh anganku memandang,
maka aku mulai meluapkan kembali tangisan menceritakan segalanya sedari awal, hal
paling sederhana, pasal dia.
Dia
begitu membosankan dengan perhatiannya yang terlalu berlebihan, aku harus apa
ketika aku sudah tidak nyaman?, mungkin memang ini terlalu kejam karena tanpa
pikir panjang lantas dia aku tinggalkan bersama kenangan yang mungkin diyakininya sebagai kebahagiaan.
*
Yaa,
perkenalkan aku, dia yang disebutnya sebagai dia, namaku Rama, mantan kekasih
Naina. Menurutku Naina itu gadis yang cantik, bahkan dia adalah gadis paling
cantik yang pernah kukasihi diantara para deretan mantanku di belakang itu, kau
melihatnya? Ahh tentu tidak.
Sebenarnya aku sangat menyayanginya sebelum kemudian dia
membalas rasa sayangku, singkatnya seperti itu, sampai-sampai aku melakukan
segala cara agar bisa mendapatkannya, dia begitu memikat ketika diam dan berusaha
menjauh dariku, kau tau? Ketika aku bertemu dengannya pertama kali, pandanganku
steril dari tatapan matanya, menunduk saja berlama-lama, enggan menunjukkan
kecantikannya, senyumpun tidak disuguhkan olehnya, mungkin saja, sebab dia
tundukan kepala sebagaimana mengheningkan cipta ketika upacara, ahh dia.
Hampir beberapa kali aku mengajaknya pergi sekedar ngopi
pikirku, namun beberapa kali itu ditolaknya, alasannya bervariasi, lucu sekali,
pernah waktu itu dia mengatakan
“Aku sedang ada di luar, bersama ayah, lain kali aja yaa”
Padahal aku sedang berada tepat di luar kost nya, dan aku
memperhatikannya dari luar jendela, kebetulan kamarnya di nomor kosong satu,
jadi wajahnya nampak jelas dari luar. Untung dia tidak sadar, kalau sadar, aku
tidak bisa membayangkan wajahnya yang memerah karena malu. Ada-ada saja gadis
yang satu ini, namun tidak sepenuhnya harapanku pupus, Men. Selanjutnya aku
mengajak dia jalan berdua, dengan alasan mengerjakan tugas yang menuntut untuk
segera di selesaikan, dan benar saja dia mau pergi bersamaku, lantas semangatku
berkobar-kobar untuk menjemputnya. Malam itu adalah kencan pertama sekaligus
terakhir bagi kami sebelum kemudian memutuskan untuk menjalin kisah cinta
berdua.
Malam itu aku senang, terlebih ketika dia mulai menyunggingkan
senyuman dari bibirnya, kecantikannya sempurna, dia tidak terlalu pendiam
sepertinya, buktinya dia mulai membuka mulut untuk bicara lalu aku tak akan
melewatkan kesempatan emas ini, aku mulai menceritakan segalanya, yang pertama
tentang tugas itu, aku terpaksa membohonginya, dia mulai mengerti. Aku
terbelalak seketika, dia yang begitu sederhana, sangat mudah memaafkan orang.
Semakin aku yakin bahwa aku suka pada Naina.
*
Heningnya suasana hati akan mengikuti adegan dengan naskah dibawah ini, perhatikan sorot tajam hitam dibawah lentera kegelapan di bola matamu yang padam itu, atau sebaiknya lupakan saja dan mulai lagi membaca dengan leluasa.
Maka selanjutnya adalah ketidakjelasan daripada semua yang telah terpaparkan dalam beberapa bait-bait kosong ini, bagaimanapun bentuknya, dia akan tetap menjadi sebuah hasil merenung kenangan yang pernah menghilangkan kerisauan, kegundahan, dan kebosanan, serta kecemasan kala itu. Dia hadir dengan kecacatannya yang hampir sempurna sebagai multitafsir yang menawan dan seksi tentunya. Aku pernah suka dan lalu kecewa karena kebuntuan yang menyelimuti pikiran di kepala.
Selalulah dia berusaha ciptakan setidaknya, kalaupun nanti atau yang sudah-sudah akan begini dan begitu, setidaknya ada yang mampu terkikiskan oleh kata setidak-tidaknya dan menghilangkan setidaknyalah sekalipun sedikitnya yang dipikirkan hanyalah bergelutputar tentang kesia-siaan.
Komentar
Posting Komentar